Menurut Pontianak Post Pada Tanggal 21 Juli 2016
KALBAR MASUK LIMA PROVINSI TERATAS
PRAKTIK pernikahan dini di Indonesia masih marak di kalangan
masyarakat. Perempuan dalam kelompok usia 18 tahun ke bawah rupanya
masih banyak yang memulai kehidupan rumah tangga lebih awal.
Sayangnya, hal tersebut seringkali memutuskan peluang karier mereka
dan menghambat potensi ekonomi Indonesia. Deputi Bidang Statistik Sosial
Badan Pusat Statistik, Sairi Hasbullah menjelaskan, pihaknya telah
survey yang melibatkan perempuan usia 20-24 tahun Indonesia pada 2015
lalu.
Dari data tersebut, 23 persen perempuan kelompok usia tersebut sudah
menikah sebelum usia 18 tahun. Dalam kasus ini, rasio penduduk desa yang
menjadi istri di usia muda memang lebih mudah, yakni 27,11 persen dari
total peserta survey.
Sedangkan, rasio perempuan menikah usia anak di perkotaan mencapai
17,09 persen. "Indikasinya hampir terjadi di seluruh Indonesia,"
terangnya di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta.
Di antara provinsi tersebut, terdapat lima provinsi dengan rasio di
atas 30 persen. Sulawesi dengan rasio 34 persen; Kalimantan Selatan
33,68 persen; Kalimantan Tengah 33,56 persen; Kalimantan Barat 32,21
persen; dan Sulawesi Tengah 31,91 persen.
"Ini berarti satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi tersebut menikah di bawah umur," ujarnya.
Soal alasan para perempuan menikah, masalah ekonomi bukan
satu-satunya faktor. Justru, hal tersebut mengaku salah satu orang yang
tingginya angka perkawinan usia anak di beberapa daerah ini ternyata
tidak selalu dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau kemiskinan.
Dampak dari praktik tersebut, lanjut dia, adalah perempuan yang
cenderung berpendidikan rendah. Dari survey tahun lalu, hanya sembilan
persen perempuan yang menikah muda bisa lulus SMA.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas
Subandi Sardjoko menerangkan, tren pernikahan dini sendiri sudah
menurun pada lima tahun terakhir.
Hal tersebut dibuktikan dengan rasio pernikahan dini perempuan Indonesia pada 2008 yang mencapai 27,4 persen.
Namun, hal tersebut bukan berarti angka saat ini sudah bagus. Hal ini
jelas masih menjadi masalah yang besar bagi Indonesia. "Kalau menurut
UNICEF, angka ini masih tinggi sekali. harusnya sampai zero atau nol,"
jelasnya.
Dia pun menambahkan, fakta tersebut sebenarnya punya dampak secara
tak langsung terhadap ekonomi. Pasalnya, Indonesia jadi kehilangan
potensi tenaga kerja yang produktif. Hal tersebut secara tak langsung
membuat daya saing usaha Indonesia menjadi lebih rendah.
"Apalagi, perkawinan usia anak yang terjadi di pedesaan. Ekonomi desa
jadi tambah lambat dan negara rugi tidak produktif," ungkapnya.
(bil/JPG)
Sabtu, 10 Desember 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar